Ad Code

Responsive Advertisement

Makna dari Tumpek Wariga/Tumpek Bubuh/Tumpek Uduh/Tumpek Pengatag


Tumpek wariga atau pengatag merupakan salah satu hari raya umat Hindu di bali yang diperingati 25 hari sebelum hari raya galungan yang bertepatan pada hari saniscara kliwon wuku wariga dalam kalender caka (kalender di bali).

Tumpek wariga merupakan hari dimana umat hindu di bali menghaturkan sesajen kepada tumbuh-tumbuhan yang ada di bumi bukan karena memuja tumbuh-tumbuhan melainkan sebagai rasa syukur manusia atas segala kelimpahan makanan dan banyak fungsi dari tumbuh-tumbuhan yang membantu kehidupan manusia.

Makna Tumpek Wariga


Makna filosofis Tumpek Wariga sebagai bentuk pemujaan kepada Sanghyang Sangkara yang merupakan manifestasi dari Tuhan sesungguhnya bermakna bagaimana memelihara alam melalui tumbuh-tumbuhan sehingga kebutuhan oksigen dari seluruh makhluk hidup bisa terpenuhi.

Sang Hyang Sangkara merupakan manifestasi Hyang Widhi dalam menciptakan tumbuh-tumbuhan, yang dalam pengider-ider berwarna hijau, dengan arah barat laut. Diantara barat dengan Mahadewa sebagai dewatanya, berwarna kuning, dan utara dengan Wisnu sebagai dewatanya, berwarna Hitam. Dalam Ganapatti Tattwa warna Kuning melambangkan tanah, hitam adalah air. Jadi tumbuhan bisa hidup jika ada pertemuan antara tanah dan air. Demikian pula tanah dan air akan terjaga jika ada tumbuhan. Karena itu, umat Hindu akan memuja Tuhan sebagai Dewa Sangkara untuk memohon kekuatan jiwa dan raga dalam mengembangkan tumbuh-tumbuhan.
Pantangan Dalam Tumpek Wariga

Dari Sisi Etika, umat Hindu pada hari ini tidak diperbolehkan menebang pohon. Umat pun pada Tumpek Wariga tidak mau memetik buah, bunga, dan daun. Justru mereka diharapkan menanam pohon. Artinya, secara etika, umat Hindu ingin menyerasikan dirinya dengan alam, baik melalui upacara maupun tindakan nyata.

Dalam ajaran agama Hindu dikenal konsep Tri Chanda yaitu tiga unsur yang menjadi penyebab hidup dan kehidupan. Ketiga unsur itu yakni vata (udara), apah(air) serta ausada (tumbuh-tumbuhan). Tanpa ketiga unsur itu, kehidupan tidak bisa berlangsung. Jadi dapat dikatakan kejahatan terhadap ketiga unsur dasar dalam kehidupan itu adalah kejahatan terbesar dalam hidup.
Makna Penggunaan Bubur Dalam Tumpek Wariga

Menurut I Ketut Wiana, seorang Pendharmawacana (penceramah) agama Hindu, bubur merupakan lambang kesuburan. Perayaan Tumpek Wariga memang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas anugerah kesuburan yang diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga segala macam tumbuhan bisa tumbuh dengan baik. Tumbuh-tumbuhan itu yang kemudian menjadi sumber kehidupan utama agi umat manusia.

Biasanya, imbuh Wiana, bubur yang dibuat dan dihaturkan saat Tumpek Bubuh berwujud bubur berwarna merah dan putih. Bubur berwarna merah merupakan lambang purusa(maskulin) sedangkan bubur berwarna putih merupakan lambang pradana (feminim). Penyatuan kedua unsur itu menyebabkan lahirnya kehidupan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam Tumpek Wariga yang ada dalam ajaran atau tradisi Hindu di Bali, untuk mengingatkan umat manusia atas segala jasa besar Tuhan yang telah menciptakan tumbuh-tumbuhan. Karena tumbuh-tumbuhan juga memegang aspek penting dalam berlangsungnya kehidupan di dunia. Tanpa tumbuh-tumbuhan takkan ada oksigen, akan mudah ada longsor dan banjir serta masih banyak lagi. Melalui Tumpek Wariga mari kita selalu ingat menjaga dan melestarikan lingkungan (tumbuh-tumbuhan) dan sebaliknya lingkungan pun dapat menjaga kita sesuai dengan hukum aksi reaksi.

Reactions

Post a Comment

0 Comments