Di sejumlah daerah di Bali, tradisi matuakan sebelum prosesi mengarak Ogoh – ogoh hingga kini masih dilakukan.
Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda tak menyanggah, masih banyak masyarakat yang salah kaprah dan menganggap ketika Pangerupukan diperbolehkan mabuk dan minum – minum. Padahal, dalam filosofinya tidaklah demikian. Menurutnya, ritual meminum arak sebelum mengarak Ogoh – ogoh dianggap sebagai perwakilan dari sifat buruk yang ada dalam diri manusia. Ritual Matuakan ini umumnya dilakukan bagi mereka yang akan 'negen' atau mengusung dan mengarak ogoh – ogoh keliling desa.
Menurutnya, beban dari Ogoh - ogoh yang mereka arak adalah gambaran dari beratnya mengalahkan sifat buruk dalam diri. “Jadi, ketika Ogoh – ogoh itu dibakar, sesungguhnya itu simbolisasi bagaimana kita membakar sifat buruk keraksasaan seperti mabuk, marah, iri, dan sifat buruk lainnya. Sayang dong, sudah dibakar sifat buruknya, ketika sampai banjar malah minum – minum lagi, sama saja bohong kan,”paparnya.
Ia juga menjelaskan, ketika semua beban akan sifat negatif ini hilang, maka seseorang akan siap memulai lembaran baru. Dan, setelah menjalankan Tapa Brata Panyepian, dipercaya keesokan harinya seseorang tersebut akan menjadi pribadi baru yang siap menghadapi hidup dan menjadi lebih baik.
0 Comments