Ad Code

Responsive Advertisement

Dharma Wacana : Galungan dan Pusaran Materialisme



Galungan secara harfiah bermakna kemengan Dharma melawan Adharma. Di balik pengertian yang sangat sederhana tersebut, terselip nilai pertentangan yang bersifat kekinian. Manusia modern sudah terjerembab ke dalam pusaran materialisme yang membuat mereka lupa siapa dirinya sesungguhnya.

Kita lupa, kalau hidup sejatinya adalah bentangan waktu, kita hanya menunggu kapan waktu itu habis. Maka ingatah siapa kita.

Makna awal yang terkandung dalam Galungan adalah selalu adanya dialektika antara kebajikan melawan kebatilan. Materialisme menjadi berhala di era kekinian, hal itu terjadi di segala lini kehidupan. Maka tak heran sifat keserakahan yang berkuasa. Sifat-sifat tersebut terus merajalela dan menjadikannya raja yang selalu mengontrol setiap tindakan manusia.

Tak hanya itu, kompetisi di segala bidang berjalan begitu ketat. Bahkan, secara terang benderang ada persaingan yang tidak sehat. Demi persaingan tersebut manusia dengan berbagai upaya berlomba-lomba menunjukkan eksistensi diri.

Mereka ingin diakui keberadaanya dengan berlomba untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu mengeksploitasi alam semesta secara material. Manusia tidak lagi berbicara masalah kebijakan dan kebajikan.

Orang-orang tidak malu lagi menunjukkan wiyawahara (pertengkaran). Hal ini tidak terjadi pada masyarakat walaka saja, sebagai parameternya, pertengkaran juga ditujunkkan oleh elemen yang seharusnya menjadi tauladan dalam bersikap.

Lihat saja di televisi, pemerintah bahkan rohaniawan membuka isi jubahnya. Mereka mempertontonkan pertentangan. Lalu kepada siapa masyarakat atau umat akan percaya?

Hari Raya Galungan, ada tiga aspek yang harus dimenangkan, yaitu menang melawan ego, menang melawan keinginan untuk sebuah pertengkaran dan menang melawan nafsu akan kekuasaan. Terminologi Hindu menyebutnya Sang Kala Tiga Wisesa, Bhuta Dunggulan (ego), Bhuta Galungan (pertengkaran) dan Bhuta Amangkurat (kekuasaan).

Era kekinian, Galungan hanya dimaknai secara festival atau seremonial. Menyemblih babi banyak-banyak, makan sepuasnya minum sampai mabuk. Namun, sama sekali tidak ada kontemplasi (renungan ke dalam diri) yang dilaksanakan, padahal kontemplasi adalah sebuah esensi dalam setiap pemaknaan hari raya.

Pertarungan melawan Tiga Bhuta yang harus kita menangi. Kalau dibiarkan, kita akan dikuasai, di sinilah kita harus menjadi seorang revolusioner.

Secara teori, pemahaman umat terhadap makna HariRraya Galungan tergolong mapan. Akan tetapi sampai detik ini, implementasinya masih menjadi tanda tanya besar.

Untuk sebuah awal mari benahi diri, benahi pikiran dari sebuah penyakit akut yang bernama keserakahan. Kalau ingin memenangkan perang melawan Adharma, kuasai pikiran.

Lihatlah Sang Arjuna yang bersemayam dalam diri, dekatkan dengan Sri Kresna. Kalau Arjuna dibiarkan liar, pintu akan terbuka lebar untuk menjadikannya Sang Duryodhana yang haus dengan kekuasaan. Selamat Hari Raya Galungan.

Oleh : Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda

Reactions

Post a Comment

0 Comments