Mengangkat dan Memaknai Dengan Tattwa
Saya mempunyai pengalaman yang sangat indah, sewaktu saya dapat kesempatan berpergian keluar negeri, yaitu ke negeri Bharata (India). Di awal pikiran saya membayangkan bahwa saudara umat Hindu di India didalam melaksanakan ajaran agamanya, sama dengan tatacara kita melaksanakan ajaran agama Hindu di Bali. Ceritanya begini; Hari pertama saya sampai di India, sore harinya rombongan saya diajak mengikuti upacara penghormatan kepada Dewi Gangga, tempatnya di Hari Dwar tepat di pinggir sungai gangga. Semua anggota rombongan sangat setuju termasuk saya. Singkat cerita, sampailah ditempat upacara akan dilaksanakan. Saya sendiri jadi bingung, karena satu pun alat-alat upacara yang seperti di Bali tidak bisa saya temui. Untungnya saya tidak nanya kesana kemari atas perbedaan yang saya lihat. Jadi saya diam saja mengamati dan mengikuti sesuai dengan petunjuk yang di kumandangkan dari pengeras suara.
Setelah acara dari upacara tersebut selesai, rombongan saya kembali ketempat menginap. Kebetulan tempat menginap adalah sebuah hotel yang berada di tepi sungai Gangga juga tidak begitu jauh dari tempat upacara tadi. Kira-kira jam 01.00 WITA. Saya duduk sendiri diluar kamar, tepatnya di pinggir sungai Gangga. Udara malam hari sangat dingin, tetapi rasa dingin tidak terasa karena mendengar indahnya riakan suara air sungai Gangga yang mengarlir deras sekali. Kerdipan lampu di seberang sungai seperti kerdipan bintang di malam yang sangat cerah. Akhirnya saya jadi merenung mengingat pengalaman mengikuti upacara tadi sore. Seketika itu muncul sederetan pertanyaan dalam pikiran saya, antara lain begini; Katanya kita sama-sama agama Hindu dan penganut ajaran Veda, kenapa bisa sangat berbeda prosesi upacara di Bali dibandingkan dengan di sini? Jadi yang mana benar ini? Saya jadi bingung betul-betul bingung. Setelah lama saya berputar-putar berpikir dalam kebingungan, belum juga dapat mencari jawabannya. Pendek cerita saya bersama rombongan pulang ke Bali.
Berdasarkan pengalaman di India, saya mengamati pelaksanaan upacara agama di setiap daerah yang kebetulan saya kunjungi. Mengamati satu persatu, ternyata di Balipun upacara agama dilaksanakan dengan penuh perbedaan dari masing-masing daerah. Apalagi di daerah diluar Bali, perbedaanya sangat kentara sekali. Seolah-olah ajaran agama Hindu penuh di warnai oleh perbedaan. Akhirnya saya sempat berpikir ingin menyamakan atau menyeragamkan di seluruh Bali, bahkan diseluruh Indonesia. Biar kelihatannya satu. Jadi lebih mudah, lebih enak rasanya, dan tidak memusingkan. Lama kelamaan cita-cita saya seperti tersebut punah, sirna tak tentu rimbanya. Kenapa bisa begitu? Mungkin saudara-saudara pembaca akan bertanya seperti itu?
Begini ceritnya; suatu ketika saya membaca sebuah lontar yang diwariskan oleh leluhur saya dari jaman dulu. Didalam lontar tersebut diuraikan terjemahan dari kata AGAMA. Jadi kata agama itu tidak diuraikan seperti yang biasanya yaitu A-G-A-M-A. Namun disitu urainnya seperti ini; A-GA-MA. Artinya; A diartikan ”agni” yang bermaknya api atau panas, GA diartikan ”gangga” yang bermakna air atau cair, dan MA diartikan ”maruta” yang bermakna udara atau angin. Ketiga benda alam ini dapat memberikan kehidupan bahkan dapat memberikan kesejahtraan bagi mahkluk hidup diatas bumi ini. Selain dari itu, ketiga benda itu pula merupakan benda alam yang tidak memiliki bentuk tetap, baik itu angin, air maupun api. Jadi kata agama bila disejajarkan pengertianya dengan benda-benda tadi, kita akan dapati pemahaman bahwa penerapan ajaran agama di atas bumi ini, semestinya menyesuaikan dengan kondisi daerah dimana agama tersebut dianut.
Demikianlah agama Hindu (veda) dilaksanakan sesuai dengan kondisi daerah umat pendukungnya. Karena veda kalau kita sejajarkan dengan sifat air sesuai dengan definisi kata agama tadi, sangat cocok sekali. Sebab sifat air itu, dimana ditampung akan mendapatkan bentuk sesuai dengan bentuk penampungnya. Namun walaupun air itu berbeda bentuknya tetapi sifat pokoknya tidak berubah. Contoh; air ditampung menggunakan gelas, dia akan berbentuk gelas. Ditampung menggunakan ember dia akan berbentuk ember, tetapi sifatnya air itu cair, ya tetap cari walaupun ditampung menggunakan apa saja. Demikian pula ajaran veda, akan penuh diwarnai oleh budaya, seni, adat istiadat dimana veda itu dianut. Jadi perbedaan-perbedaan yang kelihatan dalam pelaksanaan ajaran veda itu disebabkan oleh budaya setempat. Mungkin sudah semua manusia mengakui bahwa peradaban atau budaya manusia dimasing-masing daerah berbeda.
Janganlah perbedaan itu ditonjolkan apalagi diperdebatkan, itu namanya pekerjaan yang sia-sia, hanya menghabiskan kalori saja. Ujung-ujungnya pasti pertengkaran dan perpecahan. Salah-salah sedang kita asyik mempertengkarkan perbedaan, hal-hal yang lebih penting terabaikan, seperti misalnya; Hidup kita semakin terdesak dari semua segi, kita sangat terlambat meningkatkan sumber daya manusia untuk menyongsong zaman globalisasi dan hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya.
Seperti apa yang telah saya kemukakan di atas perbedaan itu hanya terletak pada budaya manusia, tetapi inti atau tattwa yang terkandung di dalamnya tidak akan pernah berbeda. Ada contoh menarik yang perlu saya kemukakan disini; Umat Hindu di Bali, bahkan di Indonesia, sering melakukan upacara ngaben. Tetapi ada pula upacara sebelum ngaben dilaksanakan, yaitu mengubur mayat. Tentang prosesi penguburan mayat itu tidak tercantum dalam ajaran veda. Jadi mengapa upacara penguburan mayat itu dilaksanakan? Apakah ini tidak bertentangan dengan tradisi veda? Sedangkan di India tidak akan kita temui kuburan mayat orang Hindu. Sekilas kita akan melihat perbedaan yang sangat mencolok. Menurut kata hati saya, itulah buktinya veda sangat menghormati budaya lokal. Karena di Bali sebelum berkembanganya veda, orang-orang Bali kuno telah memiliki tradisi penguburan mayat dengan menggunakan peti batu (sarkopagus), mungkin tradisi ini telah ada sejak atau sebelum zaman batu, selanjutnya menjadi kebudayaan. Lalu zaman berganti zaman, masuklah ajaran veda, namun kebudayaan lokal tadi tetap dilaksanakan, artinya tidak dihancurkan. Makanya kita warisi sekarang ada sistem penguburan mayat. Sekalipun mayat itu di kubur namun pada akhirnya semua akan di bakar (diaben) sesuai dengan petunjuk veda. Inti pokoknya semua mayat orang Hindu pasti diaben. Jadi tidak ada yang melanggar ajaran veda. Veda tidak mendoktrin umatnya untuk mengikuti satu budaya.
Lagi saya ingat suatu polemik tentang pakaian orang Hindu, terutama pada waktu ada upacara pitra yadnya. Ada yang mengatakan harus memakai pakaian berwarna hitam, karena kita sedang berkabung. Adapula yang menyatakan tidak, harus berpakaian berwarna putih, karena sifat upacara pitra yadnya itu adalah menuju kesucian. Banyak umat yang kebingungan. Lalu yang mana benar? Sebenarnya tentang pakaian itu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Warna pakaian harus disesuaikan. Jika tidak bisa menyesuaikan, pasti kita dianggap aneh. Kembali tentang warna. Hindu menghormati segala warna. Pernah saudara mencoba, mencampur semua jenis warna sinar? Saya sendiri pernah. Kalau warna sinar tersebut dicampur semua, akan kembali menjadi warna putih. Jadi dasar segala warna sinar itu saya kira adalah putih. Makanya jangalah berpolemik mengenai warna. Atau berkeinginan untuk menggunakan satu warna untuk segala keperluan kita.
Adalagi yang lain, merupakan keinginan segelintir orang, terlepas dari tujuan yang mereka ingin capai. Ada yang berkeinginan menyeragamkan pelaksanaan ajaran agama Hindu, biar seragam dari ujung ke ujung. Menurut saya itu baik, kalau kita ingin membunuh budaya yang telah ada sebelumnya. Kalau itu terjadi alangkah sempit dan bodohnya pikiran kita. Selain dari pada itu, akhir-akhir ini tersirat di dalam masyarakat ada muncul pemikiran untuk mengganti tradisi yang telah lalu, produk leluhur kita, dengan tradisi luar yang kita tidak tahu ujung pangkalnya. Cara berpikir seperti ini, menurut hemat saya sangat keliru. Semestinya kita harus mampu mengkaji dalam-dalam, kemudian menyesuaikan dengan keperluan kita di zaman sekarang.
Semakin lama makin banyak mengalir dalam pikiran saya mengenai hubungan veda dengan budaya, sehingga semakin banyak pula muncul pertanyaan, bila kita melihat kenyataan hidup di masyarakat. Apa bila veda (agama Hindu) tidak mengayomi budaya lokal, pasti agama Hindu tidak masih dianut diatas bumi ini. Jika kita melihat dari diturunkannya veda yang diperkirakan ribuan tahun sebelum masehi. Walaupun di Indonesia penganutnya sedikit, tetapi di dunia, Hindu tergolong agama besar penganutnya. Untuk itu kita perlu memahaminya, dengan adanya perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaannya. Kembali pada perbedaan tadi, saya punya pikiran; bagaimana jadinya jika manusia itu diciptakan sama oleh Tuhan? Mukanya sama, tingginya sama, warna kulitnya sama, pokoknya semuanya sama. Mungkin kita akan selalu bingung. Jika kita mau datang ketempat yang ramai, kita akan bingung mencari istri kita, atau istri kita akan bingung mencari kita, karena semuanya sama. Makanya yang sama itu ada di budaya binatang. Misalnya sapi, dimana-mana sapi itu saranya sama, makanannya sama. Sebab sapi tidak memiliki budaya seperti manusia.
Mengingat hal seperti itu, kita semestinya mampu memanfaatkan perbedaan itu demi mewujdukan persatuan dan kesatuan, serta membangun kekuatan dan keindahan demi kebahagiaan kita bersama. Membangun sebuah rumah saja sudah penuh dengan perbedaan, baik bahannya, yaitu semen, batu, air dsb. Itu berbeda semua. Posisi dan komposisinya juga harus berbeda, sesuai dengan keperluan. Bisakah seseorang membangun rumah dengan bahan yang sama? Seperti membangun rumah dengan bahan semen saja? Selamanya rumah itu tidak akan selesai. Tetapi yang paling penting didalam meramu perbedaan itu adalah kesadaran kita (tahu diri), demi kepentingan bersama. Jika veda menghormati perbedaan, kenapa kita yang panatik veda ingin menghilangkan perbedaan itu. Sangat tidak masuk akal, dan lucu jadinya.
Para pembaca yang saya cintai, banyak lagi hal-hal semacam itu yang ada dalam pikiran saya. Tetapi untuk sekedar merangsang bangkitnya kesadaran kita, kiranya cukup saya tulis sekian saja. Tetapi yang paling penting adalah kesadaran kita demi keturunan kita dikemudian hari. Apa yang kita lakukan sekarang, harus memikirkan keturunan kita di kemudian hari. Jika tidak, niscaya akan terjadi kehilangan generasi penerus.
Oleh : Ida Pedanda Gede Made Gunung
0 Comments