Tuhan adalah yang utama. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa umat Hindu menghaturkan terlebih dahulu masakannya sebelum disantap. Istilah ini dikenal dengan mabanten Saiban atau Jotan.
Selain untuk mensyukuri dan menghormati anugerah Tuhan, persembahan ini dilakukan agar makanan yang dinikmati memiliki manfaat yuang maksimal.
Mabanten Saiban atau Ngejot merupakan suatu tradisi Hindu di Bali yang biasa dilakukan setiap hari, setelah selesai memasak di pagi hari. Masaiban atau Majotan juga disebut dengan Yadnya Sesa.
"Yadnya Sesa merupakan bentuk yadnya yang paling sederhana sebagai realisasi Panca Yadnya yang dilaksana umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari." ujar Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran.
Lebih lanjut dijelaskan Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran, masaiban atau Majotan biasanya dilakukan setelah selesai memasak atau sebelum menikmati makanan. Memang Masaiban dahulu, baru makan. Seperti yang dikutip Bhagawadgita sloka 13, 'Yadnya Sishtasinah Santo, Muchyante Sarva Kilbishaih, Bhunjante Te TV Agham Papa, Ye Pachanty Atma Karanat' (Yang baik makan setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini sesungguhnya makan dosa).
Yadnya Sesa atau mabanten Saiban merupakan penerapan dari ajaran kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap anersangsya, yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan ambeg para mertha ( mendahulukan kepentingan di luar diri). Pelaksanaan yadnya Sesa juga bermakna bahwa manusia setelah selesai memasak, wajib memberikan persembahan berupa makanan, karena makanan adalah sumber kehidupan di dunia ini.
"Masaiban sebagai wujud syukur atas apa yang di berikan Hyang Widhi kepada kita," katanya. Sebagaimana diketahui bahwa yadnya sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa.
"Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasi-Nya dan mahluk ciptaan-Nya, termasuk alam beserta dengan isinya," jelasnya.
Banten Saiban adalah persembahan yang paling sederhana, sehingga sarana-sarananya pun sederhana. Biasanya dihaturkan menggunakan daun pisang yang diisi nasi , garam dan lauk pauk yang disajikan sesuai dengan apa yang dimasak hari itu, tidak ada keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu. Namun, biasanya menggunakan lauk yang proses pembuatannya sukla.
Yadnya Sesa (Masaiban) yang sempurna adalah dihaturkan, lalu dipercikkan air bersih dan disertai dupa menyala sebagai saksi dari persembahan itu. "Namun yang sederhana bisa dilakukan tanpa memercikkan air dan menyalakan dupa, karena wujud yadnya Sesa itu sendiri dibuat sangat sederhana." Imbuhnya
Ada lima tempat penting yang dihaturkan Yadnya Sesa (Masaiban), sebagai simbol dari Panca Maha Bhuta. Pertiwi (tanah), biasanya ditempatkan pada pintu keluar rumah atau pintu halaman. Apah (Air), ditempatkan pada sumur atau tempat air. Teja (Api), ditempatkan di dapur, tepatnya pada tempat memasak (tungku) atau kompor. Bayu, ditempatkan pada beras, bisa juga ditempat nasi. Akasa, ditempatkan pada tempat sembahyang (pelangkiran,pelinggih dan lainnya).
Dikatakan Ida Nak Lingsir, tempat-tempat melakukan saiban jika menurut Manawa Dharmasastra adalah sanggah pamerajan, dapur, jeding tempat air minum di dapur, batu asahan, lesung, dan sapu. Kelima tempat terakhir ini disebut sebagai tempat di mana keluarga melakukan Himsa Karma setiap hari, karena secara tidak sengaja telah melakukan pembunuhan binatang dan tetumbuhan di tempat-tempat itu.
Di dalam kitab Manawa Dharmasastra Adhyaya III 69 dan 75, dinyatakan dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa dihapuskan dengan melakukan yadnya Sesa. Walaupun sudah secara jelas dibahas mengenai jumlah yadnya Sesa seharusnya, tak jarang umat membuat banten Saiban dengan jumlah yang banyak. Hal itu merupakan keinginan pribadi yang bersangkutan atas dasar tingginya rasa baktinya kepada Tuhan. Biasanya banten Saiban dengan jumlah banyak dihaturkan di sanggah atau merajan, dan bahkan pura atau paibon.
Doa Yadnya Sesa yang ditujukan kepada Hyang Widhi melalui Istadewata (di tempat air, dapur, beras atau tempat nasi dan palinggih atau pelangkiran) adalah 'Om Atma Tat Twatma Sudhamam Swaha, Swasti Swasti Sarwa Dewa Sukha Pradhana Ya Namah Swaha'. Yang artinya, Om Hyang Widhi, sebagai paramatma daripada atma semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud Dewa.
Yadnya Sesa yang ditujukan kepada simbol-simbol Hyang Widhi yang bersifat bhuta, yaitu Yadnya Sesa yang ditempatkan pada pertiwi atau tanah yang doanya sebagai berikut :
'Om Atma Tat Twatma Sudhamam Swaha, Swasti Swasti Sarwa Bhuta, Kala, Dhurga Sukha Pradana Ya Namah Swaha. '( Om Sang Hyang Widhi, Engkaulah paramatma daripada atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud bhuta,kala dan durgha).
Jadi, pada kesimpulannya sebuah tradisi Hindu di Bali yaitu Masaiban atau Majotan merupakan sebuah tradisi yang menghaturkan atau mempersembahkan apa yang dimasak atau disajikan untuk makan di pagi hari kepada Tuhan beserta manifestasi-Nya terlebih dahulu dan barulah sisanya kita yang memakannya. "Semua sebagai wujud syukur kita kepada Tuhan dan menebus dosa atas dosa membunuh hewan dan tumbuhan yang diolah menjadi makanan," urai Ida Nak Lingsir.
Sumber : jawapos.com
0 Comments