Tak seorang pun mengharapkan datangnya bencana, apa pun bentuknya.
Entah itu gempa bumi, banjir, tanah longsor atau meletusnya sebuah gunung.
Hiruk pikuk dan ratap tangis, itulah yang dihadapi warga Kab. Karangasem, dan masyarakat Bali umumnya, ketika Gunung Agung meletus, Maret 1963.
Setelah bencana lewat, yang tersisa hanya reruntuhan bumi, pasir dan batu serta sederet cerita yang masih bisa dikenang terus.
Tentang gunung suci semula gunung tersebut dianggap sudah “mati”.
Beberapa sumber memang menegaskan hal itu.
Misalnya atlas tentang Bali terbitan Belanda 1950 hanya menyebutkan Batur sebagai gunung yang masih aktif.
Sementara laporan dari atase pers Kedubes AS di Jakarta dan Radio Suara Amerika saat kejadian tahun 1963, menyebutkan bahwa Gunung Agung meletus terakhir kalinya 120 tahun lalu dan sejak itu tak ada lagi tanda-tanda kehidupannya.
Wallace dalam kunjungannya ke Bali tahun 1880 mengatakan Agung sebagai “gunung api yang besar” tanpa menyebut-nyebut kapan pernah meletus.
Sedangkan Raffles dalam History of Java malah tidak tahu sama sekali namanya, kecuali mengenal “gunung di Karangasem Bali”.
Namun ia sempat mencatat bahwa gunung itu pernah meletus hebat tahun 1811.
Abunya sampai ke daerah Sumbawa.
Lain halnya yang tertulis pada lontar catatan sejarah Bali, letusan terakhir gunung itu terjadi tahun 196.
Sebelumnya pemah juga meletus pada tahun 191 dan 148.
Warga sekitarnya pun tak ada yang tahu persis ihwal gunung tersebut.
Pengetahuan dan mitos mengenai gundukan tanah setinggi 3.031 m ini hanya mereka dapatkan dari tradisi lisan generasi ke generasi.
Legenda yang mereka percayai, gunung ini merupakan bagian dari G. Mahameru di India.
Menurut kisahnya, pada zaman dahulu ketika sebagian Mahameru diangkat oleh para dewa ke sini, tiga potong gumpalan tanahnya jatuh.
Satu jatuh di kawasan Jawa dan berubah menjadi G. Semeru, yang kedua jatuh di Bali membentuk Gunung Agung, dan yang terakhir jatuh di P. Lombok menjelma menjadi G. Rinjani.
Oleh karena itu ketiga gunung tersebut bisa dibilang masih bersaudara.
Pada waktu tertentu mereka harus melakukan persembahan ke tiga tempat tersebut.
“Sampai sekarang masyarakat Bali masih menganggap Gunung Agung sebagai tempat suci seperti halnya orang India menganggap G. Mahameru. Semakin tinggi suatu tempat, semakin suci karena di sana dipercaya bersemayam Sanghyang Widi Wasa," kata Shadeg SVD, rohaniwan yang sejak 1950 sudah menekuni budaya Bali.
Tak mengherankan, ada perlakuan-perlakuan khusus terhadap gunung satu ini.
Misalnya zaman itu tak seorang pun berani mendaki ke atas tanpa diiringi pendeta.
Itu pun harus membawa sesaji.
Kalau mau naik tidak boleh mengenakan sepatu, arloji. Juga bermacam perhiasan serta uang.
Barang-barang duniawi tersebut bagi dewa-dewa merupakan penghinaan besar.
Di hadapan dewa, manusia harus miskin dan sederhana.
Bagi penduduk sekitar puncak Agung, hubungan emosional khusus dengan gunung ini pun mereka terima seperti halnya “warisan” turun-temurun.
Setiap hari sejak masa kanak-kanak mereka sudah terbiasa melihat Gunung Agung, demikian pula bapak-ibu dan kakek-neneknya serta moyangnya.
Gunung ini menghidupi mereka, memberi air. untuk mengairi tanaman dan kebun serta kebutuhan hidup lairinya.
Maka, ketika harus berhadapan dengan amukan dahsyat lavanya, banyak cerita berbau mistis, irasional mewarnai petaka alam ini. Apalagi letusan itu awalnya terjadi persis di malam purnama (bulan penuh) yang bagi sebagian besar masyarakat Bali punya arti magis.
Kesaksian pasangan suami-istri warga AS, Dennis dan Anna Mathews, mengenai peristiwa meletusnya G. Agung, dalam bukunya The Night of Purnama menarik untuk disimak.
Desa Iseh, 10 km dari puncak ke arah selatan, tempat suami-istri ini tinggal, termasuk salah satu kawasan yang porak poranda karena amukan G. Agung.
Tak seorang pun mengharapkan datangnya bencana, apa pun bentuknya.
Entah itu gempa bumi, banjir, tanah longsor atau meletusnya sebuah gunung.
Hiruk pikuk dan ratap tangis, itulah yang dihadapi warga Kab. Karangasem, dan masyarakat Bali umumnya, ketika Gunung Agung meletus, Maret 1963.
Setelah bencana lewat, yang tersisa hanya reruntuhan bumi, pasir dan batu serta sederet cerita yang masih bisa dikenang terus.
Tentang gunung suci semula gunung tersebut dianggap sudah “mati”.
Baca juga: Terjadi Pergerakan Fluida ke Arah Permukaan, Gunung Agung Dinyatakan dalam Status Awas
Beberapa sumber memang menegaskan hal itu.
Misalnya atlas tentang Bali terbitan Belanda 1950 hanya menyebutkan Batur sebagai gunung yang masih aktif.
Sementara laporan dari atase pers Kedubes AS di Jakarta dan Radio Suara Amerika saat kejadian tahun 1963, menyebutkan bahwa Gunung Agung meletus terakhir kalinya 120 tahun lalu dan sejak itu tak ada lagi tanda-tanda kehidupannya.
Wallace dalam kunjungannya ke Bali tahun 1880 mengatakan Agung sebagai “gunung api yang besar” tanpa menyebut-nyebut kapan pernah meletus.
Sedangkan Raffles dalam History of Java malah tidak tahu sama sekali namanya, kecuali mengenal “gunung di Karangasem Bali”.
Baca juga: Merasakan Ketenangan Spiritual ala Pura Gunung Agung
Namun ia sempat mencatat bahwa gunung itu pernah meletus hebat tahun 1811.
Abunya sampai ke daerah Sumbawa.
Lain halnya yang tertulis pada lontar catatan sejarah Bali, letusan terakhir gunung itu terjadi tahun 196.
Sebelumnya pemah juga meletus pada tahun 191 dan 148.
Warga sekitarnya pun tak ada yang tahu persis ihwal gunung tersebut.
Baca juga: Letusan Gunung Berapi Ini Dianggap Lebih Dahsyat Dibanding Letusan Gunung Tambora dan Gunung Krakatau, Para Ilmuwan Menemukan Jawabannya
Pengetahuan dan mitos mengenai gundukan tanah setinggi 3.031 m ini hanya mereka dapatkan dari tradisi lisan generasi ke generasi.
Legenda yang mereka percayai, gunung ini merupakan bagian dari G. Mahameru di India.
Menurut kisahnya, pada zaman dahulu ketika sebagian Mahameru diangkat oleh para dewa ke sini, tiga potong gumpalan tanahnya jatuh.
Satu jatuh di kawasan Jawa dan berubah menjadi G. Semeru, yang kedua jatuh di Bali membentuk Gunung Agung, dan yang terakhir jatuh di P. Lombok menjelma menjadi G. Rinjani.
Oleh karena itu ketiga gunung tersebut bisa dibilang masih bersaudara.
Pada waktu tertentu mereka harus melakukan persembahan ke tiga tempat tersebut.
“Sampai sekarang masyarakat Bali masih menganggap Gunung Agung sebagai tempat suci seperti halnya orang India menganggap G. Mahameru. Semakin tinggi suatu tempat, semakin suci karena di sana dipercaya bersemayam Sanghyang Widi Wasa," kata Shadeg SVD, rohaniwan yang sejak 1950 sudah menekuni budaya Bali.
Tak mengherankan, ada perlakuan-perlakuan khusus terhadap gunung satu ini.
Misalnya zaman itu tak seorang pun berani mendaki ke atas tanpa diiringi pendeta.
Itu pun harus membawa sesaji.
Kalau mau naik tidak boleh mengenakan sepatu, arloji. Juga bermacam perhiasan serta uang.
Barang-barang duniawi tersebut bagi dewa-dewa merupakan penghinaan besar.
Di hadapan dewa, manusia harus miskin dan sederhana.
Bagi penduduk sekitar puncak Agung, hubungan emosional khusus dengan gunung ini pun mereka terima seperti halnya “warisan” turun-temurun.
Setiap hari sejak masa kanak-kanak mereka sudah terbiasa melihat Gunung Agung, demikian pula bapak-ibu dan kakek-neneknya serta moyangnya.
Gunung ini menghidupi mereka, memberi air. untuk mengairi tanaman dan kebun serta kebutuhan hidup lairinya.
Maka, ketika harus berhadapan dengan amukan dahsyat lavanya, banyak cerita berbau mistis, irasional mewarnai petaka alam ini. Apalagi letusan itu awalnya terjadi persis di malam purnama (bulan penuh) yang bagi sebagian besar masyarakat Bali punya arti magis.
Letusan Gunung Agung 1963: Pengejawantahan Kemurkaan Dewa-dewa Karena Tanah Bali Kotor dan Penuh Dosa
Kesaksian pasangan suami-istri warga AS, Dennis dan Anna Mathews, mengenai peristiwa meletusnya G. Agung, dalam bukunya The Night of Purnama menarik untuk disimak.
Desa Iseh, 10 km dari puncak ke arah selatan, tempat suami-istri ini tinggal, termasuk salah satu kawasan yang porak poranda karena amukan G. Agung.
Tanggal 3 Maret 1963, sejak sore sampai malam hari, masyarakat Bali sednag sibuk menyambut datangnya perayaan seratus tahun sekali, Eka Desa Rudra, suatu puncak upacara penting puji syukur kepada Tuhan atas segala rahmat yang dianugerahkan kepada umat manusia.
Bentuknya antara lain dengan upacara sesaji dan penghormatan ke sebelas arah, yang dipercaya menyimpan kekuatan alam baik yang buruk, maupun yang jahat.
Dengan upacara ini diharapkan masing-masing kekuatan akan berjalan seimbang, sehingga umat manusia bisa hidup selaras dengan alam, damai, dan terhindar dari segala bencana.
“Namun, untuk menyambut upacara itu, setiap jengkal tanah di Bali mesti disucikan lebih dulu. Itu berarti selain penduduknya harus ‘menyucikan’ diri baik jasmani maupuan rohani, jasad-jasad yang terkubur di dalamnya harus segera diambil dan dikremasi (ngaben) atau dilabuh ke sungai/laut,” tambah Shadeg SVD.
Bagi kalangan berduit, hal ini tentu tidak akan menjadi masalah. Namun untuk sebagian besar masyarakat jelata, biaya ngaben yang minimal mencapai jutaan rupiah tak pelak menjadi kendala utama.
Meski mereka bisa secara bareng-bareng melakukan ngaben dengan cara patungan toh tidak semuanya mampu.
Kenyataan inilah yang menyiratkan persepsi “miring” atas bencana alam ini. Sekelompok orang mensinyalir, meletusnya G. Agung tersebut merupakan pengejawantahan kemurkaan dewa-dewa karena tanah Bali masih kotor dan penuh dosa.
Seorang saksi mata yang sampai sekarang masih hidup, Mangkubaru (67), penduduk Banjar Karangsari, Desa Dalah, Kec. Abang, sekitar 10 km dari puncak G. Agung, sempat mengisahkan pengalaman uniknya.
Beberapa hari sebelum Agung meletus dia bermimpi. Sepertinya ada suara yang mengatakan bahwa seminggu lagi pawon (dapur) milik sang penunggu G. Agung akan menyemburkan api karena marah.
“Namun ketika arti mimpi itu diceritakan kepada masyarakat sekitar, saya malah dianggap orang gila. Mereka tidak percaya kalau G. Agung akan meletus,” akunya ketika ditemui di desanya.
Anna Mathews pun menggambarkan adanya kesan demikian. Seorang suci bernama Togog dari Karangasem sempat memberi pesan kepada Gria, sahabat Anna, agar memberitahukan penyelenggara Eka Desa Rudra untuk membatalkan perayaan tersebut.
Kalah tidak hal-hal buruk akan terjadi. Katanya, Bali harus dimurnikan karena masih banyak mayat orang bunuh diri yang tidak diaben secara sempurna dan masih banyak terjadi tindak kriminal di kampung-kampung.
Betapa riuh rendahnya kontroversi soal ini membuat kalangan pers tertarik untuk menurunkan tulisannya.
Harian lokal Suara Indonesia terbitan Denpasar edisi 7 Maret 1963 menulis:
“Sejak beberapa hari lalu di Denpasar tersebar desas-desus, akan ada penculikan bocah-bocah untuk dikorbankan ke puncak G. Agung. Berita menyesatkan ini beredar di kalangan murid SD dan TK.
Terjadi kepanikan di antara mereka setiap kali pulang sekolah. Bahkan ada sekelompok orang tua yang kemudian melarang anaknya pergi ke sekolah dulu sebelum keadaan menjadi tenang.
Rumor ini membuat orang ragu untuk melanjutkan penyelenggaraan pesta Eka Dasa Rudra. Untung pihak kepolisian segera turun tangan dan menenangkan masyarakat bahwa berita itu tidak benar.”
Dalam surat terbuka yang ditulis di koran yang sama, gubernur Bali sampai harus memberi penjelasan bahwa Eka Dasa Rudra tetap berjalan terus, Tuhan Yang Maha Tinggi akan selalu melindungi kita semua.
Di tengah suasana itulah, bumi Bali terus bergetar dan terguncang. Beberapa kali puncak Agung mengeluarkan letusan hebat. Lava cair dan batu-batuan tersembur ke punggung-punggung gunung, melalap desa-desa di dekatnya.
Teriakan dan raungan kebingungan warga kampung di sekitar gunung suci ini terdengar memecah malam-raalam berikutnya.
Mulai saat itu G. Agung terus-menerus menunjukkan aktivitasnya selarna hampir 6 bulan. Ribuan nyawa dan puluhan ribu tempat tinggal musnah.
Muntahan lava merusak jalan raya Singaraja - Karangasem. Sementara hujan pasir melanda Denpasar yang jauhnya sekitar 150 km dari sumber bencana.
Selama beberapa minggu cuaca selalu mendung karena udara teralang debu. Menurut pengalaman Shadeg, warga Kota Denpasar kalau naik sepeda harus mengerudungi kepalanya dengan plastik karena debu dan pasir beterbangan.
Kecuali Pura Agung Besakih yang tetap utuh dan hanya terkena hujan pasir tercampur abu, beberapa pura di desa-desa seperti Sorgre, Badeg Tengah, Badeg Dukuh, Sidemen, Selat, dan Sebudi, nyaris terbenam lahar.
Keutuhan Pura Besakih ini pun tak luput dari anggapan mistis campur tangan dewa. Padahal letak Pura Besakih yang persis di tanah datar di bawah punggung gunung yang dibatasi dengan jurang, justru membuatnya terhindar dari bencana.
Ibarat seorang lelaki kencing tak akan mengenai kakinya sendiri.
Di tengah derita bencana itu, samar-samar terdengar kisah gaib seperti yang terjadi di Badeg Dukuh, desa tertinggi di lereng gunung.
Desa yang dihuni sekitar 900 jiwa ini merupakan sasasran awal semburan lava. Pada saat itu seorang kepala desa justru mengambil langkah berani naik gunung, menghadapi datangnya lava bersama beberapa pendeta, diiringi alunan gong dan gamelan.
Mereka mengadakan pemujaan untuk membujuk dewa agar menghentikan lajunya aliran lava. Entah kenapa sebabnya tiba-tba aliran lava benar-benar berhenti.
Cerita ini lantas berkembang ke desa-desa tetangga, terutama mengenai kesaktian si kepala desa yang disebutkan mampu menghalau datangnya lava.
Ketika semburan lava kembali datang, “orang hebat” tersebut berpikir bisa mengulangi lagi pamer kekuatannya.
Bersama-sama ratusan penduduk desa tersebut, si kepala desa memimpin upacara. Akhinrya sebuah “prosesi bunuh diri” terjadi.
Malang tak dapat ditolak, nasib tak bisa diukur, aliran lava tak mampu dibendung. Desa tersebut benar-benar disapu bersih dan hampir semua penduduknya tewas.
Tapi konon desa itu merupakan sarang pencuri dan kegiatan black magic.
0 Comments