Ad Code

Responsive Advertisement

Soma Ribek, Hari "Pangan" Ala Hindu di Bali


Masyarakat dunia memperingati Hari Pangan se-Dunia tiap 16 Oktober. Hal itu ditetapkan dalam Konferensi Umum Negara-negara Anggota FAO (Food and Agriculture Organization, Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa) pada November 1979. Namun, secara resmi peringatan hari Bumi se-Dunia baru dimulai tahun 1981. Hingga kini, peringatan Hari Pangan se-Dunia rutin dilaksanakan, termasuk di Indonesia.

Namun, masyarakat Bali, sudah berabad-abad silam memiliki perayaan hari pangan. Namanya, hari Soma Ribek. Menurut kalender pawukon Bali, hari Soma Ribek jatuh tiap Soma Pon wuku Sinta. Menurut kalender Masehi, hari Soma Ribek itu jatuh hari ini, Senin, 4 Mei 2015.

Perayaan hari Soma Ribek umumnya dilaksanakan dengan suatu ritual khusus di lumbung (tempat penyimpanan padi) atau pulu (tempat menyimpan beras di dapur). Kedua tempat ini diyakini sebagai linggih (stana) Sang Hyang Sri Amertha.

Secara tradisional, hari Soma Ribek dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas karunia pangan yang melimpah, terutama padi. Para petani Bali biasanya akan menghentikan aktivitas bertani selama sehari. Mereka berkonsentrasi menyiapkan segala prosesi ritual menghormati dan memuliakan Sang Hyang Sri Amertha, Tuhan dalam manifestasi sebagai pemberi anugerah kemakmuran, terutama karunia pangan bagi manusia.

Yang menarik, saat hari Soma Ribek, tradisi Bali mengajarkan manusia Bali berpantang menumbuk padi, menjual padi dan beras. Secara tradisi, konon, jika pantangan ini dilanggar bisa kena kutuk Batari Sri, bisa mengalami gangguan dalam masalah pangan.

Dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, I Made Wiradnyana menyatakan berbagai pantangan yang menyertai sebuah hari raya di Bali bertujuan untuk memberikan orang Bali kesempatan memfokuskan diri pada aktivitas spiritual guna mencapai makna hari raya itu. "Bagi orang Bali (Hindu), hari raya itu memang pendakian spiritual, bukan hura-hura. Itu sebabnya, banyak hari raya orang Bali diikuti dengan pantangan," kata Wiradnyana.

Mengenai kutukan Batari Sri apabila manusia melanggar pantangan, menurut Wiradnyana, merupakan wujud kontrol diri manusia Bali agar senantiasa ingat merawat sumber-sumber kemakmuran dalam hidup. Pangan, kata Wiradnyana, merupakan sumber terpenting dalam kehidupan. Ketika manusia tidak lagi hirau dengan keberadaan sawah dan sektor pertanian, tentu saja ketahanan pangan suatu masyarakat akan terganggu. "Itulah makna kutukan Batari Sri," tegas Wiradnyana yang juga peneliti tradisi lisan Bali ini.

Reactions

Post a Comment

0 Comments