Dari Segi Letak Geografis :
Dilihat dari segi letak geografis Gunung Salak merupakan sebuah gunung berapi yang terdapat di pulau Jawa, Indonesia. Gunung ini mempunyai beberapa puncak, di antaranya Puncak Salak I dan Salak II. Letak geografis puncak gunung ini ialah pada 6°43′ LS dan 106°44′ BT. Tinggi puncak Salak I 2.211 m dan Salak II 2.180 m dpl. Ada satu puncak lagi bernama Puncak Sumbul dengan ketinggian 1.926 m di atas permukaan laut.
Dari segi bentuk dan tata ruang bangunan :
Ditinjau dari segi tata bangun ruang Pura Gunung Salak dibangun berdasarkan konsep Tri Mandala yang mana Pura Gunung Salak dirancang sebagai tempat ibadah di ruang terbuka yang terdiri dari beberapa lingkungan yang dikelilingi tembok. Masing-masing lingkungan ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh berukiran indah. Lingkungan yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan seperti pelinggih yaitu tempat suci bersemayam hyang, meru yaitu menara gan atap bersusun, serta bale (pendopo atau paviliun). Struktur tempat suci pura Gunung Salak mengikuti konsep Trimandala, yang memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni:
Nista mandala (Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu masuk pura dari lingkungan luar. Pada zona ini biasanya berupa lapangan atau taman yang dapat digunakan untuk kegiatan pementasan tari atau tempat persiapan dalam melakukan berbagai upacara keagamaan.
Madya mandala (Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat dan fasilitas pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong (Bale gamelan), Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan.
Utama mandala (Jero): yang merupakan zona paling suci di dalam pura. Di dalam zona tersuci ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong Penyimpenan.
Meskipun demikian tata letak untuk zona Nista mandala dan Madya mandala kadang tidak mutlak seperti demikian, karena beberapa bangunan seperti Bale Kulkul, atau Perantenan atau dapur pura dapat pula terletak di Nista mandala.
Ditinjau dari segi mitologi :
Belum ada literatur yang bisa memastikan kapan agama Hindu masuk ke wilayah Jawa Barat. Tapi setidaknya telah ditemukan sejumlah bukti peninggalan Kerajaan Hindu di Jawa Barat yakni Tarumanegara dengan rajanya yang terkenal Purnawarman.
Sebagian peninggalan itu diantaranya kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Jejak kaki sang raja bahkan tercetak pada sebuah batu yang lalu dikenal sebagai prasasti Ciaruteun.
Jejak kaki Raja Purnawarman ini diibaratkan seperti telapak kaki Dewa Wisnu, salah satu dewa umat Hindu. Di Museum Nasional juga terdapat prasasti Tugu. Prasasti Hindu tertua yang ditemukan di Pulau Jawa.
Dalam prasasti Tugu yang diperkirakan berasal dari tahun 450 Masehi ini misalnya, penunjukkan Prabu Purnawarman dari Tarumanegara pernah memerintahkan penggalian saluran terusan sungai dari Bekasi ke Pelabuhan Sunda Kelapa untuk sistem pengairan dan membuka jalur pelayaran ke pedalaman.
Pada akhir abad ke VII, Kerajaan Tarumanegara diduga hancur takluk pada Kerajaan Sri Wijaya. Baru pada awal abad ke 14 hadir kembali Kerajaan Hindu Sunda yang cukup kuat dibawah kepemimpinan Prabu Siliwangi. Yakni Kerajaan Padjadjaran dengan ibukotanya terletak disekitar Pakuan yang kini dikenal sebagai kota Bogor.
Sayangnya, tidak banyak yang ditinggalkan sang Prabu Sri Paduga Maharaja. Kebanyakan justru tentang mitos yang masih dipercaya hingga kini walau ratusan tahun sudah berlalu. Seperti kemampuannya untuk menghilang atau muksa. Berbagai kesaktian sang prabu ini pula yang jadi latarbelakang berdirinya pura di Gunung Salak.
Dari segi mitologinya Berdirinya pura di Gunung Salak ini bukan tanpa alasan. Karena di sinilah konon kerajaan Hindu tanah Sunda yang termasyur pernah berdiri. Kerajaan Padjadjaran dibawah pemerintahan Prabu Siliwangi. Konon di tanah inilah Prabu Siliwangi sang Raja Padjadjaran yang membawa kemasyuran bagi tanah Sunda pernah berdiam. Bahkan ada yang percaya di tempat ini Prabu Siliwangi menghilang bersama para prajuritnya. Hingga akhirnya sebelum membangun pura, umat Hindu lalu memutuskan untuk membangun terlebih dulu candi dengan patung macan berwarna putih dan hitam. Sebagai penghormatan terhadap Kerajaan Padjadjaran, Kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan.
Konon, dulu sering ada hal-hal gaib yang terjadi di wilayah ini yang berhubungan dengan Prabu Siliwangi, raja masyur dari Kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat. Pendirian pura di Gunung Salak yang dipercaya sebagai petilasan Sri Paduga Maharaja Prabu Siliwangi
Tahun 1984 merupakan Tonggak sejarah dimulainya ide pembangunan Pura Gunung Salak, hal ini bermula dari sebuah perasaan mistik seorang tokoh Hindu di Bali bernama Anggawijaya. Ketika itu Angga tengah sembahyang di lereng Gunung Salak ini. Tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu yang lain. Aneh, ada daya tarik yang khas begitu terasa. Sulit dikatakan dengan lisan. Dan itu menyebabkan Angga yakin bila di situ cocok menjadi tempat ibadah.
Sejak itu, Angga berangkat ke Bali dan Jakarta. Ia temui sejumlah rekan, baik pemangku (pelayan pura), Pedanda, dan mereka yang bisa merasakan adanya energi di suatu tempat. Akhirnya terkumpul 20 orang tokoh, termasuk Dewa Brata, Gubernur Bali yang waktu itu masih menjabat Sekwilda Bali. Setelah disepakati, mereka berangkat ke tempat Angga dahulu melakukan sembahyang.
Dan benar saja, baru selangkah memasuki lokasi, mereka sudah merasakan adanya energi aneh itu. Mereka pun segera memulai sembahyang dengan posisi setengah lingkaran. Pada tahap inilah mereka baru merasakan energi yang kuat itu benar-benar ada. Setelah itu mereka istirahat. Pukul 00.00, mereka kembali bersembahyang. Mereka berdoa kepada Sang Hyang Widi untuk diberikan tanda yang nyata bila di tempat ini bisa dibangun pura.
Tak berapa lama, keheningan yang tengah berlangsung itu buyar seketika. Sebab tiba-tiba terdengar suara denting besi yang beradu dengan batu. Komang Agung, salah seorang peserta sembahyang, menemukan sebuah keris berukuran sekitar 7 Cm, disisi kiri tempatnya bersila. Menyusul kemudian ditemukan lagi tiga buah permata yang besarnya mencapai satu ruas ibu jari orang dewasa. Warnanya ada yang hijau, merah dan kecoklat-coklatan. Benda-benda gaib itu semua dikubur di tempat berdirinya pura.
Belakangan, panitia pelaksana penyucian leluhur umat Hindu sebumi Parahyangan itu baru tahu bila lokasi mereka semadi tempo hari bukan tempat sembarangan. Masyarakat di sana, maupun tokoh-tokoh spiritual di Bogor juga mengungkap bila tempat itu merupakan petilasan Prabu Siliwangi. Menurut keterangan, di tempat itulah sang prabu dan bala tentaranya moksa. Petilasannya berbentuk batu-batuan hingga kini masih ada di lokasi itu. Konon, pada tahun 1981 silam, tempat tersebut dikenal sebagai Batu Menyan. Batu menyan ini setiap harinya mengeluarkan asap. Konon masyarakat sekitar setiap hari melihat cahaya putih, dan sinar terang dari angkasa, kemudian turun ke batu.
Setelah rangkaian proses yang panjang, disepakatilah di tempat itu untuk didirikan pura. Pemangku pura Gunung Salak, I Nyoman Randeg
Pada Tahun 1995, dimulai dengan membangun sebuah candi disatu titik yang diyakini sebagai petilasan Prabu Siliwangi, Raja Termasyur dan sangat dipuja. Pembangunan candi tersebut adalah sebagai simbul penghormatan kepada leluhur tanah sunda. Pemerintahan beliau dengan sesanti : “Tata Tentram Kerja Raharja”, telah membawa jaman keemasan bagi Padjadjaran, kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan. Kehidupan masyarakat dijalankan berdasarkan kepada penghormatan ajaran leluhur “Sanghyang Dharma dan Sanghyang Siksa”. Masa jaya ini berlangsung selama masa pemerintahan beliau tahun 1482 -1521, dan dilanjutkan putranya Raja Surawisesa, tahun 1521-1535. Semua ini tertera pada prasasti batu bertulis di jalan batu tulis Bogor, yang dibuat Tahun Saka 1455 atau 1533 SM.
Selama proses pembangunan, untuk sementara pura disebut dengan “Penataran Agung Gunung Salak”. Hingga tahun 2005, atas partisifasi umat baik perorangan maupun institusi/lembaga, panitia berhasil menyelesaikan seluruh pelinggih di utamaning utama dan utama mandala berupa Padmasana, Candi, Anglurah Agung, dua buah Bale Pepelik, Bale Pesamuan Agung, Pengayengan Dalem Peed, Bale Paselang, Pawedan/Bale Gajah, Bale Reringgitan, Bale Panjang dan Panggunan. Demikian juga pelinggih Betari Melanting/Pasar Agung dipandang perlu dibangun sementara, untuk “nedungan Ida “ selama pelaksanaan upacara ngenteg linggih. Di Madya dan Kanista Mandala didirikan berbagai bangunan semi permanen untuk mengdukung yadnya maupun operasional pura selanjutnya.
Dari sejak dirintis pembangunan pura ini merupakan hasil kerja gotong royong umat. Memang belum semua bagian selesai dikerjakan. Namun bangunan pura utama, seperti Pura Padmesana dan Balai Pasamuan Agung dan Mandala Utama segera selesai.
Rencananya pura Gunung Salak ini akan terdiri dari empat area. Misalnya area utama Ning Mandala yang merupakan area suci hingga hanya para pemangku agama yang bisa menjejakan kakinya.Bangunan penting lain adalah Padmesana yang merupakan tempat persemayaman Tuhan serta Balai Pasamuan Agung.
Ditinjau dari segi Pemberian Nama Pura
Paruman Sulinggih
Hari minggu, 11 Juni 2005 disebelah kiri belakang padmasana, dilaksanakan paruman oleh beberapa sulinggih. Beliau adalah para sulinggih yang tinggal menetap di Bali, Bandung, Bogor, Lampung, Tangerang dan Jakarta termasuk dharma adhyaksa PHDI Pusat. Paruman Sulinggih ini menghasilkan empat butir bhisama.
Pertama, pura yang telah dibangun disepakati dengan nama “Parahyangan Agung Jagat Karta”. Ini diambil dari philosofi penciptaan alam semesta, dimana ketika Ida Sanghyang Widhi Wasa menciptakan alam semesta serta menurunkan ajaran Sanghyang Catur Weda, bergelar Sanghyang Jagat Kartta, (lontar Widhi Sastra Catur Yugo-Griya Aan Klungkung), Jawa Barat semasa pemerintahan raja-raja Siliwangi khususnya (tabe pakulun) Prabhu Sri Baduga Maharaja; agama Veda (Hindu) adalah agama kerajaan artinya raja dan rakyat Jawa Barat memeluk agama Hindu, Jawa Barat adalah tempat pertama masuknya ajaran Veda/agama Hindu di Pulau Jawa. Dari Jawa Barat kemudian menyebar ke Jawa Tengah, dan Jawa Timur, selanjutnya terus ke Bali. Untuk Jawa Timur juga ada penyebaran Ajaran Veda/Agama Hindu langsung dari India yang terjadi pada kurun waktu berikutnya. Dikaitkan dengan hal tersebutlah maka pura yang berlokasi di lereng Gunung Salak, dimana didalamnya juga terdapat candi sebagai stana Dewa Hyang Prabhu Siliwangi Shri Baduga Maharaja ini diberi nama “Parahyangan Agung Jagat Kartta red”. Wilayah tempat berdirinya pura ini juga dikenal sebagai desa dan sekaligus kecamatan Tamansari di lereng Gunung Salak. Kemudian kata “Tamansari gunung Salak “menjadi kesatuan utuh tak terpisahkan, melekat dengan nama pura, sehingga secara lengkap disebut sebagai “PARAHYANGAN AGUNG JAGAT KARTTA TAMANSARI GUNUNG SALAK”.
Parahyangan berarti tempat Sanghyang Widhi;
Agung berarti besar, mulia;
Jagat berarti bumi;
Kartta berarti lahir, muncul.
Taman sari adalah nama Kecamatan dilereng Gunung Salak, dimana pura ini berada.
Keseluruhan nama tersebut mengandung makna : “pura ini adalah tempat yang indah dan mulia sebagai stana Tuhan Yang Maha Agung, yang berlokasi di Kecamatan Taman sari Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat.
Ditinjau dari segi Upacara/pujawali Di Pura Gunung Salak
Ngenteg Linggih dan Piodalan/Pujawali Pura.
Ditetapkan pujawali pura dilaksanakan pada Purnama sasih ketiga dengan pertimbangan bahwa piodalan pura-pura di wilayah sekitar BANSEJABODETABEK (Bandung, Serang, Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi) umumnya berlangsung pada Purnama Sasih Kapat dan Kelima. Dengan pilihan waktu tersebut, diharapkan umat sekitar dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk berpartisipasi di pura. Dengan memperhatikan kesiapan pembangunan phisik, disepakati untuk melaksanakan upacara Ngenteg Linggih pada hari Radite Pon Julungwangi tanggal 18 September 2005. Melihat besarnya bangunan phisik pura maka tingkatan upacara yang digunakan adalah “utamaning utama” yaitu tingkat tertinggi dalam struktur upacara yadnya agama Hindu. Melihat kenyataan bahwa umat yang bersembahyang dan ngayah datang dari berbagai penjuru tanah air maka pura ini diberlakukan sebagai Pura Kahyangan Jagat.
Setelah kurang lebih 10 tahun melaksanakan pembangunan secara bertahap akhirnya Pura Gunung Salak diresmikan berfungsinya dengan upacara Ngenteg Linggih, dimulai dari Purnama Karo, Sukra Pon Kulantir, 19 Agustus 2005 dan berakhir pada Whraspati Wage, Sungsang, 29 September 2005, sedangkan puncak upacaranya, yakni Ngenteg Linggih pada Purnamaning Ketiga, Radite pon julungwangi bertepatan dengan hari Minggu tanggal 18 September 2005. Seluruh rangkaian upacara dipuput oleh para Sulinggih, baik yang didatangkan (dituwur) dari Bali maupun yang sudah lama menetap di Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bandung. Setidaknya tercatat 21 Sulinggih yang terlibat dalam rangkaian upacara ini dibantu puluhan pinandita dari Bansejabodetabek yang tergabung dalam Sanggraha Pinandita Nusantara.bertindak selaku manggala upacara Ngenteg Linggih adalah Ida Pedanda Gde Putra Tembau dari Griya Aan, Klungkung, Bali, yang juga berkenan bertanggung jawab sebagai Manggala Pura.
0 Comments