Ad Code

Responsive Advertisement

Kisah Sejarah Pura Sakenan


Pura Sakenan terletak di Pulau Serangan, Desa Serangan, Denpasar Selatan.Bali. Pura Sakenan adalah tempat yang sangat suci dan tempat memohon keselamatan seluruh dunia. Pura Sakenan termasuk salah satu Sad Kretiloka. Disebut sebagai simbol dari Sad Darsana. Sad Kretih yaitu Atma Kretih, Samudra Kretih, Wana Kretih, Jagat Kretih dan Jana Kretih.

Pura Sakenan sendiri disebut Samudra Kretih. Sakenan itu sebagai tempat pemujaan Ida Hyang Dewa Biswarna atau Baruna. Beliau benar-benar sebagai penjaga Segara Pakretih (ketenangan lautan/samudera) untuk keselamatan dunia, menghilangkan segala jenis rintangan di dunia, dan segala jenis penyakit dan menyucikan segala jenis kala, bhuta dan manusia, dan berbagai jenis penyakit.

Pura Sakenan adalah tempat yang sangat suci dan tempat memohon keselamatan seluruh dunia. Tempat pemujaan beliau didirikan di tepi laut selatan di wilayah Desa Serangan. Bangunan suci parahyangan itu dinamakan Parahyangan Dalem Sakenan (Pura Dalem Sakenan) sebagai tempat berstananya Hyang Sandhijaya. Mengapa dinamakan Dalem Sakenan? Karena memang titah dari Batara yang memberikan petunjuk pada saat beliau memilih pulau-pulau kecil di laut selatan. Di tempat itulah dibangun Pura Sakenan karena sebagai perintah melalui suara-suara gaib (sabda) Ida Batara.

Sejarah Pura Sakenan

Sejarah Pura Sakenan juga tak bisa lepas dari perjalanan orang-orang suci seperti Danghyang Nirarta, Empu Kuturan, dll. Dulu, pada saat pembangunan Candi Sekar Kancing Gelung, orang-orang yang ada di Serangan dan di sekitarnya dengan semangat untuk ngaturang ayah. Mereka bersatu dan semuanya memohon kesejahteraan hidup. Adapun orang yang ada di sekitar Serangan saat itu antara lain berasal dari Intaran, Suwung, Kepaon, Pemogan, Kelan, Jimbaran, Panjer, Dukuh Siran dan banyak lagi.

Pura Sakenan berkonsep swamandala terdiri atas pelinggih-pelinggih dan bangunan-bangunan yang ada di dalamnya. Pura Sakenan terdiri atas dua pelebah yaitu Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan/Penataran Agung Sakenan.

Pura Kahyangan ini dibangun oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakertha pada abad ke-10, bersamaan dengan dibangunnya beberapa pura lainnya, pada jaman pemerintahan Raja Sri suami istri Masula-masuli di Pejeng mulai memerintah tahun Icaka 1100 (1178 M) selama 77 tahun, mengenai asal-usul pembangunan Pura Sakenan ini tertera dalam lontar Usana Bali. Dalam lontar Usana Bali antara lain disebutkan, Mpu Kuturan juga disebut Mpu Rajakretha membangun pura berdasar konsep yang dibawanya dari Majapahit (Jawa Timur), diterapkan di Bali seluruhnya.

Ketika Danghyang Nirartha mengadakan perjalanan keliling Bali mengunjungi tempat-tempat suci, ia sampai pula di Pulau Serangan. Lalu, di bagian barat pantai Pulau Serangan dibangunlah pura. Di situ, Danghyang Nirartha dapat menyatukan pikirannya secara langsung. Mengenai peristiwa ini, dalam Dwijendra Tattwa, antara lain diuraikan sebagai berikut :

“Sesudah Danghyang Nirartha mensucikan diri di Bukit Payung, lalu beliau meneruskan perjalanan dengan menyusur pantai laut yang sangat indah dan mempesonakan menuju arah utara. Pantai yang dilalui cukup permai dengan pasirnya yang memutih memberikan keindahan alam yang mempesonakan, ditambah lagi dengan hembusnya angin dan lautan yang dapat menyegarkan jasmani beliau.”

Lalu disebutkan lagi, “Dalam perjalanannya ini kemudian beliau menjumpai dua buah pulau kecil yaitu Nusa Dwa. Di pulau ini Danghyang Nirartha beristirahat kembali untuk melepaskan lelah, dan di sinilah beliau menyusun sajak atau kakawin Anjangsana Nirartha. Setelah selesai mencatat dan menyusun segala sesuatu yang berkaitan dengan sajak ini, Danghyang Nirartha lagi melanjutkan perjalanan menuju arah utara.”

Tak dikisahkan bagaimana halnya di dalam perjalanannya, sampailah Danghyang Nirartha di suatu pulau kecil yaitu Serangan. Pada pantai bagian barat Pulau Serangan, Danghyang Nirartha beristirahat sambil mengagumi keindahan alam sekitarnya. Di tempat itu ia merasakan dan menyaksikan perpaduan harmonis antara daratan pulau Serangan dengan laut yang mengelilinginya. Karenanya, Danghyang Nirartha berketetapan hati dan memutuskan untuk tinggal dan bermalam beberapa hari di sana.

Akhirnya, di situlah Danghyang Nirartha membangun palinggih (bangunan suci) di Pura atau Kahyangan Sakenan. Sakenan berasal dan kata cakya yang berarti dapat langsung menyatukan pikiran. Pujawali atau piodalan di Pura Sakenan jatuh pada setiap 210 hari, pada Sabtu Kliwon, wara Kuningan, bertepatan dengan hari raya Kuningan. Sedangkan keramaiannya diselenggarakan pada Minggu Umanis, wara Langkir.

Ada hal penting yang setidaknya harus diperhatikan oleh para umat atau pemedek yang hendak tangkil ngaturang bakti atau bersembayang ke Pura Sakenan. Konon, hal ini masih rancu terjadi. Yang sering terjadi, umat melakukan persembahyangan di Pura Dalem Sakenan (pura yang di pinggir paling barat) dan di Pura Susunan Agung (di sebelah timur Dalem Sakenan), setelah itu langsung pulang.

Dalam pasamuan atau rapat nyanggra piodalan di Pura Sakenan yang sudah digelar, dijelaskan bahwa persembahyangan itu merupakan satu paket. Artinya, pemedek harus bersembahyang (1) ke Pura Susunan Wadon — sekitar 0,5 km ke timur Pura Sakenan), (2) ke Pura Susunan Agung, dan (3) ke Pura Dalem Sakenan — pada pelingih paling barat di pinggir pantai yang berbentuk Padmasana.

Dalam kajian sastranya, rangkaian ini bisa di telusuri dari kata Pura Susunan Wadon, Susunan Agung, dan Pura Dalem Sakenan. Terdapat suatu pengertian Purusa, Pradhana dan Susunan Agung adalah Lingga, Yoni dan Susunan Agung adalah tempat penyatuan antara Purusa dan Pradana — penyatuan sang diri dengan maharoh sebagai asal mula setiap mahluk hidup. Pemahaman inilah yang ditemukan Mpu Kuturan sehingga melahirkan Pura Sununan Lanang dan Susunan Wadon.

Begitu pun dengan kehadiran Dang Hyang Nirartha, juga terjadi hal yang sama. Sehingga, sebagai penghormatan terhadap beliau, maka dibuatkanlah pelinggih Pura Dalem Sakenan yang merupakan penyatuan antara Siwa dan Budha.

dari berbagai sumber
Reactions

Post a Comment

0 Comments