Rangkaian Hari Raya Galungan sudah dimulai sejak Sabtu Kliwon, Wuku Wariga atau yang dikenal dengan nama Tumpek Wariga. Dan, akhir dari perayan tersebut, jatuh pada Rabu Kliwon, Wuku Pahang yang lebih dikenal dengan nama Buda Kliwon Pegat Uwakan.
Sebagai akhir dari rangkaian upacara Galungan, maka pada Buda Kliwon Pahang atau Buda Kliwon Pegat Uwakan ini, segala bentuk atribut Hari Raya Galungan mulai dilepas, seperti penjor, sampian, dan tamiang yang dipasang ketika Hari Raya Galungan dan Kuningan.
Menurut Dosen IHDN Denpasar Drs. Made Surada, Buda Kliwon Pegat Uwakan ini mengandung arti pegat yang artinya putus dan uwakan (uwak) berarti kembali . “Buda Kliwon Pegat Uwakan ini merupakan hari berakhirnya rangkaian Galungan, sehingga rangkaian perayaan yang terkait dengan hari raya sudah berakhir,” jelasnya. Pada Buda kliwon Pegat Uwakan ini, lanjut Surada, umat Hindu sebelum membersihkan atribut dan perlengkapan Hari Raya Galungan, terlebih dahulu menghaturkan sesaji kehadapan Shang Hyang Widi, sebagai tanda puji syukur atas anugrahnya sehingga Hari Raya Galungan dan Kuningan berjalan dengan selamat. Setelah itu, pada Buda Kliwon Pahang ini, atribut Hari Raya Galungan dan Kuningan mulai dibersihkan, salah satunya dengan mencabut penjor di depan rumah. Setelah dicabut, atribut penjor seperti bakang-bakang, lamak, sampian, dan sarana lainnya dibakar dan abunya dimasukkan ke dalam bungkak nyuh (kelapa muda) gading, kemudian ditanam di belakang palinggih Rong Telu. “Maknanya, adalah, umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi agar diberkati kesuburan hingga rangkaian Hari Raya Galungan selanjutnya tiba dan umat bisa merayakannya dengan meriah,” paparnya. Selain sebagai akhir daripada rangkaian Hari Raya Galungan, Buda Kliwon Pegat Uwakan ini, juga dikenal dengan istilah Buda Kliwon Pegat Warah, yakni berakhirnya warah-warah dari ilmu pengetahuan yang diturunkan selama 42 hari sejak Hari Tumpek Wariga. Sehingga setelah titik akhir ini, Umat Hindu yang sudah mendapatkan pengetahuan melalui proses pengendalian diri selama perayaan Hari Raya Galungan sebelumnya, dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. “Selama satu bulan tujuh hari, Umat Hindu diajarkan untuk mengendalikan diri agar bisa hidup bersama dan menerapkan konsep dharma dalam kehidupannya,” terangnya. Dalam konteks berakhirnya rangkaian Galungan, umat diingatkan untuk selalu bisa menerapkan nilai-nilai dharma. Dalam konteks kekinian, dijelaskan Surada, kemenangan yang dimaksud bisa berupa kemenangan dalam menghadapi persaingan global.
“Selama rangkaian Hari Raya Galungan, mulai Tumpek Wariga hingga Buda Kliwon Pegat Uwakan, umat Hindu tidak diperkenankan menyelenggarakan upacara keagamaan. Alasannya, karena selama rangkaian Hari Raya Galungan, Umat Hindu masih berkonsentrasi pada perayaan Hari Raya Galungan,” papar praktisi Wariga sekaligus penyusun Kalender Bali, I Gede Sutarya. Lebih lanjut dikatakan Sutarya, selama rangkaian Galungan tersebut, di masyarakat dikenal ada istilah Uncal Balung. “Selama Uncal Balung itu masyarakat umumnya pantang melakukan kegiatan Panca Yadnya, kecuali pujawali atau piodalan di pura atau pun di sanggah/merajan yang kebetulan saat itu jatuh tegak piodalan-nya,” jelasnya. Selain alasan konsentrasi untuk menyambut hari raya, lanjut Sutarya, dari beberapa literatur Hindu seperti Kitab Gong Besi menyebutkan, sebelum Buda Kliwon Pegat Uwakan aktivitas para Dewa di Kahyangan juga masih terkonsentrasi pada rangkaian upacara Galungan. Setelah Buda Kliwon Pegat Uwakan ini, barulah umat bisa mengagendakan aktivitas keagamaan dan upacara lainnya, seperti menyelenggatakan upacara pernikahan ataupun meagendaakan upacara lainnya.
Hal ini karena dari perhitungan hari baik dan perhitungan dalam Ilmu Jyotisha, hari setelah perayaan Hari Raya Galungan memang sangat baik untuk menyelenggarakan upacara Manusa Yadnya.
Sumber : jawapos.com
0 Comments